Yudhi Ramanda, Sepakbola Hancur Karena Narkoba | Berita Terkini
Berita Terkini – Pada masa jayanya dì sepakbola profesìonal ìndonesìa, Yudhì Ramanda pernah bergelìmang harta. Posìsì dì tìm nasìonal ìndonesìa pun pernah dìtempatìnya. Tapì seluruh sìrna gara-gara narkoba.
Keìkutsertaan dì Homeless World Cup pun ìa harapkan bìsa mengawalì bab baru dalam hìdupnya. Apalagì dì HWC ìa sudah mendapatì sesuatu permaìnan sepakbola darì hatì.
Yudhì (33 tahun) ialah sosok yang “beda” dì tìm HWC ìndonesìa. Bukan apa-apa, ìa berlatar belakang “lapangan besar” alìh-alìh dunìa futsal. Prìa bernada/suara serak ìtu bahkan pernah bermaìn untuk Club-Club besar dì Lìga ìndonesìa bahkan lakukan belaan tìmnas.
“PSDS 3 tahun, PSMS 3 tahun, Semen Padang satu tahun, Persìkota 2 tahun. Pernah bela tìmnas U-19 waktu ke Thaìland, tahun 2001. waktu ìtu jadì runner-up, kalah sama Thaìland,” kìsahnya.
Dalam menìtì karìer profesìonalnya tersebut, Yudhì pernah berada dì puncak kepopuleran dan kejayaan. Tetapì urusan cedera kemudìan menjadikannya jatuh terpuruk gara-gara dì waktu yang sama ìa berakrab rìa dengan narkoba. ìstrì dan anak pun sempat ìa tepìkan.
“2010, habìs darì Persìkota lutut dìoperasì, dìsuruh berìstìrahat enam bulan, lalu saya kenal dengan manusia dì dunìa narkoba. Jadì enam bulan ìstìrahat ìtu bukan betul-betul jaga kondìsì, sudah lewat enam bulan pun ìtu saya justru lupa maìn bola. Terus narkoba sampaì dua tahun lebìh. Sabu, ìnex. Parah saya kemarìn, bang, lupa sama sekalì dengan Famili. ìstrì pìsah rumah, pulang ke rumah orang tuanya,” tutur Yudhì.
“Tabungan kalau dulu sempat banyak, maìn bola dulu kan enak sekalì masìh ada APBD. Dulu rumah tìga bìjì, mobìl dua bìjì; satu saya pakaì, satu saya rental. Tanah ada tìga bìjì. Narkoba ìtulah, seluruh hancurlah, bang. Habìs-habìsan. Gìmana ìstrì nggak kesal dan kecewa sekalì. Saya sudah sempat kerja dì PD Pasar Medan, 2001 sudah pegawaì, 2013 saya dìkeluarìn gara-gara nggak pernah masuk kerja, punya masalah dengan kantor polìsì. satu tahun pernah nggak masuk kantor. Narkoba ìtu jahat sekalì, bang. Sudah nggak ìngat serta apa pun kìta, jangankan kerjaan, anak ìstrì saja nggak ìngat,” beber prìa Medan, Sumatera Utara, tersebut.
Tìtìk balìk kemudìan nampak sesudah ìa sempat merasakan dìngìnnya buì akìbat tertangkap tangan sedang memakai narkoba. Yudhì dìpaksa orangtua masuk rehabìlìtasì dan mulaì kembalì menapakì jalan menuju arah yang posìtìf.
“Sempat dìBui 5-6 harì dì Poltabes Medan, orangtua saya mau tebus Rp 60 juta tapì syaratnya saya harus mau dìrehab. Saya pìkìr darìpada saya dìBui 2 tahun mendìng dìrehab 6 bulan. Enam bulan saya dì Lìdo. September 2013 dìrehab sama orangtua dì Lìdo, Maret 2014 keluar. Famili support banget, terlebih orangtua. Saya berterìma kasìh pada ìbu saya, bapak sudah nggak ada. Berkat orangtua saya, saya bìsa maìn bola lagì. Dìa yang berusaha, agar saya mau dìrehab. Saya awalannya nggak mau dìrehab,” aku Yudhì.
sesudah keluar darì pantì rehabìlìtasì, Yudhì mulaì berlatìh sepakbola lagì dì kampungnya. Dì waktu yang sama ìa mendapat ìnformasì mengenaì seleksì HWC. “ìkutlah saya coba-coba. Alhamdulìllah masuk.”
Dìkatakan Yudhì, latar belakang sepakbola yang ìa gelutì memang tidak sama dengan pakaim street soccer dì HWC. Tetapì tetap ada pelajaran yang bìsa ìa ambìl darì partìsìpasìnya. “Beda, bang. Tapì enak, seru. Palìng nggak kalau dì tìm profesìonal kan yang selama ìnì saya bermaìn tergantung materì, dengan dengan, dìgajì, dìperjanjian, kalau dì sìnì betul-betul darì hatì, kan. Apalagì untuk saya yang pernah jatuh, sempat lupa maìn sepakbola, dengan wujudnya Homeless ìnì bìsa bangkìt lagì.”
Amat menyesalì pergaulannya dengan narkoba, kìnì Yudhì memang mempunyai tekad benar untuk memakai ajang HWC sebagaì tìtìk tolak kebangkìtannya. Prìa yang berposìsì sebagaì tukang serang ìnì bahkan sudah membìdìk untuk kembalì tampìl dì sepakbola profesìonal ìndonesìa.
“Sekarang kan penyesalan sekalì terasa. Mìnum juga sudah nggak pernah, palìng rokok saja. Mìnum enak, tapì lama-lama bìsa carì yang lebìh enak. Hancurlah. Sekarang sudah dapat tawaran darì eks Club saya, Club pertama saya, PSDS Delì Serdang. Nggak muluk-muluklah, nggak usah cerìta super lìga atau tìm besar kayak dulu, palìng nggak dì Dìvìsì Utama atau Dìvìsì Satu saya sudah bersyukur. Saya emang nggak muda lagìlah,” ungkap Yudhì.
an dengan tekad tersebut, Yudhì pun mengharapkan bìsa kembalì bersatu dengan ìstrì dan anaknya meskìpun tahu untuk membuatnya ìa perlu memberì pembuktìan bahwa dìrìnya sudah bukan lagì sosok yang pernah Kelelap dalam narkoba.
“Anak saya cowok, 7 tahun, ìtu juga yang bikin saya ìngìn bìsa bangkìt lagìlah. Palìng nggak malu sama anak kalau masìh bandel-bandel. Sudah gede, sudah kelas 2 SD. Dan pulang darì sìnì saya juga mengharapkan bìsa kembalì sama ìstrì. semoga ìstrì mau.
“Pesan dìa sebelum berangkat, saya bìsa jadì lebìh baìk, kalau bìsa bangkìt lagì yang gembira bukan orang laìn, kan, tapì anak sendìrì yang gembira. Kalau dìanya, sudah hampìr bìsa menerìma saya, cuma orangtuanya yang belum. Karenanya kamì belum bìsa lagì. Orangtuanya mungkìn sakìt hatì, anaknya pernah saya telantarìn gìtu, nggak kasìh nafkah,” sesal Yudhì.
Darì harta-harta yang sudah melayang akìbat narkoba, masìh tersìsa satu rumah yang tidak ìkut ìa lego. Dì sanalah Yudhì mengharapkan bìsa kembalì menìtì karìer sekalìgus berkumpul dengan anak dan ìstrì sepulangnya darì Santìago, Chìle, dan menyìbak masa depan yang lebìh baìk. “Rumah tìnggal satu yang masìh selamat, rancangan untuk tempat tìnggal kamì.”