by

Luis Milla Akan Terapkan Tiki-Taka di Timnas Indonesia?

Kehadiran Luis Milla di kursi pelatih tim nasional sepak bola Indonesia memunculkan harapan besar bahwa skuat Garuda nantinya bakal mengadopsi filosofi tiki-taka nan ciamik milik Spanyol. Sebuah mimpi yang indah dan sah-sah saja.

Namun, muncul pula pertanyaan yang menggelitik. Apakah Indonesia bisa menerapkan permainan atraktif seperti yang akrab dipertontonkan Barcelona dan Timnas Spanyol dalam satu dekade terakhir?

Sebelum melangkah lebih jauh, mari memahami filosofi tiki-taka yang belakangan menjadi kiblat sepak bola Spanyol dan diwujudkan sempurna oleh Barcelona.

Milla memang hasil produk La Masia, akademi sepak bola milik Barcelona. Dia pun sempat berseragam tim senior Barcelona, namun sebelum tiki-taka menjadi sedemikian populer seperti saat ini.

Tiki-taka sendiri adalah gaya permainan sepak bola yang identik dengan umpan-umpan pendek dan mengandalkan pergerakan dinamis. Memindahkan bola melalui beragam saluran dan mempertahankan penguasaan bola.

Adopsi Total Footbal

Merujuk dari berbagai sumber, tiki-taka merupakan pengembangan dari taktik Total Football Belanda yang dipadukan dengan karakter sepak bola kaki ke kaki milik Spanyol.

Legenda Belanda, Johan Cruyff, turut andil membentuk karakter dasar sepak bola Spanyol ini kala melatih Barcelona pada periode 1988-1996.

Gaya permainan Barcelona rajutan Cruyff kemudian dikembangkan oleh para suksesornya yang juga dari Negeri Kincir Angin: Louis van Gaal dan Frank Rijkaard.

Filosofi tiki-taka di Barcelona menyentuh kesempurnaan ketika ditangani entrenador asal Spanyol Pep Guardiola pada 2008-2010, pemain generasi pertama akademi yang dibentuk Cruyff. Prinsip pola bermain Guardiola umumnya adalah 4-3-3 yang bisa bertransformasi sesuai situasi dan kondisi lawan.

Terkadang, pola tiki-taka Barca di bawah kendali Guardiola bisa terasa membosankan, terutama jika kekuatan lawan tak sebanding. Barca ‘hanya’ akan mengumpan pendek sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya, dan dilakukan berulang kali.

Namun, tujuan utamanya adalah memancing lawan untuk merebut bola sehingga lupa akan pola pertahanan mereka sendiri. Setelah lawan terpancing, maka Lionel Messi dkk lebih mudah merangsek pertahanan musuh.

Satu lagi yang tak kalah menarik adalah sistem pertahanan di garis pertahanan musuh. Para pemain depan Blaugrana seperti Pedro, Messi, dan Alexis Sanchez pada saat itu rela melakukan tekanan sejak bek lawan memegang bola.

Dengan serangkaian metode inilah yang membuat tim lawan kesulitan mengembangkan pola permainan sendiri.

Tiki-taka Barca arahan Guardiola pun sukses menggenggam tiga gelar Liga Spanyol secara beruntun (2008-2009, 2009-2010, dan 2010-2011) dan dua trofi Liga Champions. Mereka juga mampu merajai Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antarklub pada 2009 dan 2011.

Sementara Timnas Spanyol —yang juga menerapkan filosofi yang sama— berhasil mengawinkan trofi bergengsi Piala Eropa 2008 (di bawah asuhan Luis Aragones) dan Piala Dunia 2010 (Vicente del Bosque).

Intelegensia dan Stamina

Menarik memang jika Timnas Indonesia menerapkan tiki-taka yang sudah menjadi darah daging Milla. Apalagi ia juga punya catatan gemilang dengan membawa Timnas Spanyol U-21menjuarai Piala Eropa 2011.

Kini, pria 53 tahun itu ditargetkan mempersembahkan medali emas SEA Games 2017. Tugas tak kalah berat juga menanti Milla. Sebab, ia juga dibebankan untuk membawa Timnas Indonesia menembus semifinal Asian Games 2018.

Ekspektasi tinggi masyarakat pencinta sepak bola Indonesia harus tetap menginjak bumi. Sebab, filosofi tiki-taka membutuhkan pemain-pemain yang memiliki intelegensia tinggi diimbangi dengan stamina yang tinggi pula. Belum lagi mempertimbangkan bahwa ada hal-hal dasar yang harus diperbaiki Milla sebelum jauh melangkah soal menerapkan tiki-taka.

Hal ini diakuinya setelah menyaksikan sejumlah pemain Indonesia lewat tayangan video pertandingan.

“Saya sudah lakukan analisis terhadap sepak bola Indonesia dan kami akan melakukan serangkaian program agar pemain bisa mengeluarkan kemampuannya dengan maksimal. Kami akan tingkatkan teknik, mental, dan fisik. Inilah yang dibutuhkan Indonesia saat ini,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (9/2).

Ketiga faktor yang dirujuk Milla (teknik, mental, dan fisik) sejatinya hal yang paling dasar dalam sepak bola. Pelatih timnas semestinya bertugas untuk meramu taktik dan filosofi bermain, bukan justru disibukkan mengurusi tiga hal ini.

Berkaca pada Piala AFF 2016

Publik boleh sedikit berbangga menengok perjuangan Timnas Indonesia di Piala AFF 2016. Maklum, dengan segala polemik yang melanda, skuat Garuda sukses menembus final pesta sepak bola Asia Tenggara.

Namun, dewi fortuna tak mampu lagi menolong Indonesia ketika harus bertemu Thailand di final. Tim Merah Putih kalah segalanya dari Thailand dan harus menyerah dengan agregat 3-4.

Semangat juang dan keberuntungan saja tak cukup melawan Thailand yang mulai mampu menerapkan gaya tiki-taka ala Kiatisuk Senamuang.

Tim Gajah Perang tampil agresif sepanjang 90 menit tanpa berkutat dengan persoalan stamina yang masih jadi penyakit Indonesia. Semua pemain bergerak dinamis seakan tak kenal lelah untuk mengalirkan bola dari segala arah.

Sebaliknya para penggawa Indonesia, termasuk kapten Boaz Solossa tampak kelelahan meladeni permainan dinamis Thailand. Gelandang serang Stefano Lilipaly juga lebih banyak berlarian mencari bola.

Performa gelandang muda berbakat Indonesia yang meroket di Timnas U-19, Evan Dimas Darmono, juga memprihatinkan. Ia tak mampu tampil maksimal di sepanjang turnamen karena persoalan kebugaran.

Pelatih Alfred Riedl pernah menurunkan Evan sebagai starter di fase grup melawan Filipina. Namun, hasilnya mengecewakan. Staminanya jeblok. Ia bahkan kesulitan membantu pertahanan di wilayahnya sendiri.

Evan adalah pemain muda berbakat yang punya intuisi memainkan gaya tiki-taka. Gelandang 21 tahun itu punya teknik dan intelegensia cukup mumpuni sebagai pengatur ritme permainan di lini tengah.

Maklum, ia pernah digembleng pelatih Indonesia U-19, Indra Sjafri, yang juga mengadopsi tiki-taka dan sukses menjuarai Piala AFF U-19 pada 2013. Indra kala itu mempopulerkan istilah Pepepa atau pendek-pendek-panjang.

Namun, pola makan yang tak tak disiplin mulai memengaruhi daya tahan tubuhnya di lapangan. Tak heran jika Riedl pada akhirnya lebih sering memarkirnya di bangku cadangan. Riedl mengakui Evan Dimas sangat bagus secara teknik dan taktikal, tapi ia tak memiliki stamina yang ideal.

Inilah yang menjadi pekerjaan rumah terbesar sepak bola Indonesia jika ingin mengadopsi tiki-taka. Selain persoalan kecerdasan, Milla harus menghadapi pemain yang staminanya masih di bawah standar.

Saya jadi teringat kutipan Cruyff yang melegenda, “Sepak bola adalah permainan sederhana. Tapi, memainkan sepak bola yang sederhana sangat sulit.”

Di atas kertas, memainkan umpan-umpan pendek secara cepat memang terdengar sederhana. Tapi justru kesederhaan itulah yang akan menjadi tantangan terbesar Milla bersama Indonesia.

Selain merebut emas tentunya.