indolivescore.com – Beberapa saat lalu Chelsea terlempar dari Champions League, mengikuti jejak Manchester United, dan besar kemungkinan akan disusul oleh Arsenal pekan depan. Satu-satunya harapan Premier League di UCL praktis hanya bisa disematkan kepada Manchester City, karena sudah mengantongi kemenangan atas Dynamo Kiev di pertemuan pertama.
Mungkin ini bisa menjadi senjakala klub Premier League di kancah Eropa, tapi ini tidak menjadi malapetaka untuk kelangsungan hidup klub di musim-musim setelahnya. Manchester United, misalnya, ketika terlempar dari Champions League mereka ‘hanya’ terlempar dari kompetisi yang menyumbangkan 18 persen pemasukan klub, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Premier League.
Hitung-hitungan finansial tidak bisa berbohong. Terlempar dari Champions League bukan merupakan akhir dari segalanya untuk tim Inggris; meski tidak lolos ke Champions League tetap menjadi pukulan lebih serius bagi mereka. Namun selama tim Anda tidak buruk-buruk amat di fase grup, maka Champions League memberi uang cukup banyak. Premier League adalah lahan uang yang sesungguhnya.
Di Inggris, mulai muncul spekulasi bahwa ada beberapa alasan kenapa tim Premier League mulai gagal melaju di Eropa. Ada semacam tendensi yang cukup kuat di sana, bahwa merajai Inggris dirasa lebih penting dibandingkan pencapaian lainnya. Klub Inggris dirasa mulai tidak terlalu peduli dengan apapun yang terjadi di luar liganya, dan akan lebih merasa puas ketika menjadi yang terkuat di Inggris.
Perlu dipahami bahwa Premier League kini menjadi merek dagang yang luar biasa. Mereka jauh lebih menjual dibanding La Liga, Bundesliga, atau Serie-A. Ini juga yang dinilai memengaruhi performa mereka di Benua Biru. Bukan karena terlalu kompetitif, karena pada 2008 lalu klub Inggris pernah mendominasi total. Atau bukan karena jadwal dan intensitas kompetisi, meski rehat musim dingin akan sangat membantu mereka.
Ini terkait soal pola pikir klub Premier League. Mereka sangat terfokus pada produksi domestik, sehingga menganggap itu sudah bisa mewakili pencapaian di Eropa. Memenangi Premier League adalah pencapaian yang jauh lebih besar dan memiliki kepuasaan lebih masif dibanding apa yang didapat Bayern, Barcelona, Madrid, atau Juventus di masing-masing liga.
Untuk elit yang sudah disebutkan sebelumnya, masing-masing liga jauh lebih mudah tertebak. Ekspektasi juara di sana sudah mengerucut ke beberapa nama saja. Champions League adalah ujian mereka yang sesungguhnya sebagai tim raksasa.
Secara kontras, Anda akan melihat bahwa pencapaian City memenangi Premier League masih bisa memuaskan suporter andai mereka terjungkal di Champions League. Anda boleh membenci revolusi yang dilakukan tim karena mereka memiliki pemilikl luar biasa kaya, tapi bahkan mereka punya pandangan visioner tentang Eropa. Baginya, kiprah di Benua Biru butuh proses jauh lebih lama dan perlahan-lahan baru bisa dijangkau andaikan sudah solid di Premier League. Kedatangan Pep musim depan bisa menjadi pijakan awalnya.
Di lain sisi, Anda bisa menyimak bagaimana Roman Abramovich begitu terobsesi pada Champions League di atas trofi lainnya. Namun ia paham, bahwa Chelsea tidak bisa langsung menyabet gelar itu jika tidak punya fondasi kuat. Lima musim setelah mengalami perombakan, The Blues baru bisa bicara di Eropa. Setelah 10 tahun, akhirnya dua trofi Eropa berlabuh di Stamford Bridge. Setelah itu mereka bisa kembali fokus ke Premier League, dan membuktikannya dengan menjadi jawara pada 2014-2015. Premier League akan selalu menjadi pencapaian tersendiri yang juga menyuguhkan kepuasan dalam level berbeda.
United baik-baik saja meski tidak meraih trofi, dan masih bisa menyodorkan keuntungan bersih sebesar 15 juta Poundsterling kepada keluarga Glazer di 2015 lalu. Tambahkan itu dengan angka 75 juta Poundsterling berkat flotasi pada 2012, dan 129 juta Pounds dari pemasukan total pada 2014. Anda bisa mengerti, kenapa United terlihat jauh dari kategori tertekan.
Di bawah kepemimpinan Glazer, United meraih periode terbaik ketika 2008, dan menembus final pada 2009 plus 2011. Mereka tergolong dalam generasi awal superpower Eropa sebelum Bayern, Madrid, dan Barcelona menjelma menjadi luar biasa kuat sejauh ini. Tapi itu adalah visi keluarga Glazer yang disokong oleh idealisme kuat dari Sir Alex Ferguson.
Namun kini United tak ubahnya seperti merek dagang. Mereka lebih mengicar perlebaran sayap dalam skala global untuk tetap menghasilkan banyak uang. Lolos ke Champions League adalah hal yang tidak bisa ditawar, tapi memenanginya hanya menjadi bonus—bukan sebuah keharusan lagi. Mereka akan tetap kaya, tetapi ditakutkan akan mengubah mental tim menjadi medioker.
Mungkin Premier League akan merindukan sosok Brian Clough, yang pernah berjanji akan membawa Nottingham Forest berjaya di Eropa pada 1974—setelah ia dipecat dari Leeds. Dalam nukilan The Damned United dan I Believe in Miracles, Clough sempat dianggap delusional ketika berkata, “Saya ingin berjaya di Eropa tahun ini, karena saya rasa ini semakin dekat. Saya ingin memenangi hati Anda semua dengan gelar itu. Saya ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan banyak orang.”
Tentu saja ia tidak memenangi itu di ’74. Ia juga tidak terlalu paham hitung-hitungan finansial dan merek dagang dalam skala global. Namun ia akhirnya membawa Nottingham angkat trofi Eropa di Munchen pada ’79 dan mengulangnya semusim kemudian di Madrid pada ’80.
Ah, andaikan saja Clough masih hidup.