indolivescore.com – Leicester merobek buku ketentuan mengenai Premier League dengan penampilan luar biasa mereka musim ini.
Pasukan Claudio Ranieri sempat dipandang rendah dan hanya diperkirakan 5000:1 untuk meraih gelar Premier League setelah hampir terdegradasi pada akhir musim lalu. Tapi kini mereka menjadi kandidat terkuat peraih trofi Liga Inggris dengan unggul lima poin dari Tottenham yang ada di posisi kedua.
Dengan sisa empat pertandingan lagi, Leicester kini sedikit lagi mengukir sejarah Premier League yang mungkin menjadi sejarah terhebat sepak bola dunia. Dari perjalanannya ini, mereka mematahkan mitos-mitos yang ada di Premier League bertahun-tahun.
Harus menghabiskan banyak uang
Sejarah menunjukkan sebuah klub harus menghabiskan banyak uang untuk bisa memenangkan Premier League, namun pengeluaran Leicester untuk gaji dan transfer jauh lebih kecil dari rival-rival mereka di papan atas. Calon PFA Player of The Year, Riyad Mahrez, Jamie Vardy dan N’Golo Kante berharga 350.000, 1 juta dan 5,6 juta Poundsterling. Pemain paling mahal mereka adalah Shinji Okazaji, 7 juta Pounsdterling.
Starting XI mereka seperti Kasper Schmeichel, Danny Simpson, Robert Huth, Wes Morgan, Christian Fuchs, Kante, Danny Drinkwater, Marc Albrighton, Okazaki, Mahrez dan Vardy totalnya 20 juta Poundsterling – seperdelapan dari total yang dihabiskan Manchester City di jendela transfer musim panas.
Perlu pengalaman juara
Ini dipatahkan Leicester. Di tim Ranieri hanya Morgan, Drinkwater dan Vardy yang merasakan juara, itu pun juara Championship, hanya mantan bek Chelsea, Robert Huth yang pernah merakasan trofi Premier League.
Pemain lain yang merasakan juara seperti Gokhan Inler (dua gelar liga Swiss), Marcin Wasilewski (tiga gelar liga Belgia). Sepertinya ini bukan pengalaman mitos Premier League.
Kuncinya adalah rotasi
Sir Alex Ferguson adalah salah satu manajer yang mengutamakan rotasi di skuat Manchester United dan Claudio Ranieri salah satu yang mendukung hal tersebut saat masih di Chelsea. Tetapi, ketika di Leicester dia membuang kebiasaan lama tersebut dan mendapat kesuksesan di King Power Stadium.
Ranieri pernah mengganti starting XI-nya di enam laga berturut-turut melawan West Ham. Jika Vardy tidak dikartu merah pada laga tersebut, sudah pasti kita akan melihat komposisi yang sama saat mereka melawan Swansea akhir pekan ini.
Sumber: Sky Sport
Empat besar tak tertembus
Empat besar Premier League mudah diprediksikan beberapa tahun lalu, Everton dan Totenham yang bisa bergabung dengan Manchester City, Manchester United, Chelsea, Arsenal dan Liverpool ke Liga Champions sejak musim 2004/05.
Leicester membuat siapa pun bisa masuk ke empat besar di Premier League dan mendapat tiket Liga Champions. Kemenangan 2-0 Leicester atas Sunderland memastikan mereka mendapat tiket Liga Champions dan sekarang mereka berjuang untuk menjuarai Premier League.
4-4-2 sudah mati
Senjata utama klub-klub Premier League kebanyakan beberapa tahun ini adalah 4-2-3-1, namun Leicester tetap setia dengan formasi 4-4-2 yang merupakan formasi jadul sepak bola (formasi ini juga terus dipakai Diego Simeone di Atletico Madrid).
Formasi ini sangat efektif. Permainan mereka juga tidak banyak berubah, namun tak bisa dihentikan lawan-lawannya. Komposisi dan strategi sederhana, tetapi efektif.
Penguasaan bola adalah kuncinya
Sumber: Sky Sport
Pemuja penguasaan bola akan garuk-garuk kepala melihat bagaimana Leicester bermain. Tiga tim pemenang Premier League terakhir mendominasi penguasaan bola dengan rata-rata ball possession 55 persen. Leicester lebih memilih menunggu, bertahan dengan baik dan memainkan serangan balik.
Leicester ada diperingkat ke-18 untuk urusan penguasaan bola dan akurasi passing, gaya ini membuat bingung lawan-lawan mereka. “Saya ingin kuat di penguasaan bola, tetapi kami tidak punya karakteristik itu di tim, jadi saya lebih memilih bola langsung,” kata Ranieri.