indolivescore.com – Dengan perawakan tinggi besar dan juga kemampuan tekel yang mumpuni, Thiago Motta memang bukan seorang gelandang serang klasik. Kemampuannya untuk melindungi lini belakang membuat Motta ditempatkan sebagai gelandang bertahan oleh Paris Saint Germain.
Demikian pula di tim nasional Italia. Pria 33 tahun yang semula berkewarganegaraan Brasil ini ini sering diduetkan Daniel De Rossi untuk menjadi jangkar. Peran ini pula yang akan dipegang oleh Motta ketika ia turun di Piala Eropa 2016 pada pertengahan Juni ini.
Tak ada yang salah dengan peran Motta tersebut, sampai kemudian ia diberikan nomor punggung 10, atau nomor yang identik dengan seorang pengatur serangan.
Padahal, karakteristik Motta sangat jauh dengan seorang “nomor 10”.
Pekerja Imajinasi
Tak ada negara lain yang sangat identik dengan nomor 10 itu selain Italia. Bahkan mereka memiliki terminologi sendiri untuk para pemain yang menggunakan nomor 10: fantasista.
Secara harafiah, fantasista bisa diartikan sebagai “pekerja mimpi”. Mereka adalah para penyuplai kreativitas di atas lapangan. Para pemain yang memberikan umpan-umpan tidak terduga untuk membongkar lini pertahanan lawan.
Saking istimewanya seorang fantasista, maka para pelatih Italia tak mau membebaninya dengan pekerjaan lain dengan pekerjaan-pekerjaan ‘kotor’ seperti bertahan, atau melakukan tekel. Tugas mereka hanyalah untuk berkreasi dan mencipta. Dalam kata lain, seorang fantasista tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kini diemban Motta.
Peran fantasista lahir dari sejarah panjang sepak bola Italia yang identik dengan sistem pertahanan gerende (catenaccio) yang mewabah di negara tersebut sejak era 1960-an. Beban untuk membongkar lini pertahanan yang rapat akan jatuh pada pundak seorang fantasista.
Karena itulah dari kultur sepak bola yang saat ini sering dianggap ‘kotor’ atau membosankan tersebut, lahir para artis dan maestro yang melegenda. Publik sepak bola Italia sendiri sangat mencintai sosok fantasista, dan selalu menanti-nantikan siapa yang akan mengenakan nomor punggung 10 selanjutnya.
Dalam beberapa dekade ke belakang, para pelatih tim nasional pun tak pernah kesulitan untuk mencari sosok yang bisa mengemban peran tersebut. Bahkan, biasanya ada dua fantasista yang punya kemampuan setara pada satu era yang sama.
Ketika Ferruccio Valcareggi melatih Italia di era 1970-an, ia memiliki Sandro Mazzolla dan Gianni Rivera. Saking sepadannya kedua legenda Gli Azzurri ini, Valcareggi sampai memberikan waktu bermain yang sama untuk keduanya. Mazzolla di babak pertama dan Rivera di babak kedua.
Di era 1990-an, ada Roberto Baggio yang bersaing untuk berebut satu tempat dengan Gianluca Vialli, dan kemudian Alessandro Del Piero. Sementara dalam satu dekade terakhir, Del Piero dan kapten AS Roma, Francesco Totti, juga identik dengan nomor 10.
Masalah Kronis di Semua Lini
Minimnya generasi penerus tim nasional Italia tidak terjadi hanya di sektor lini serang. Finalis Piala Eropa empat tahun lalu itu datang ke Piala Eropa dengan skuat yang nyaris compang-camping.
Tak ada nama Marco Verratti di lini tengah karena sang pemain Paris Saint Germain mengalami cedera. Daniel De Rossi pun dibawa dengan kondisi yang belum sepenuhnya bugar. Lini depan Gli Azzurri juga tidak dihuni oleh nama-nama yang dikenal banyak orang.
Jika timnas Inggris punya banyak opsi, mulai dari Harry Kane, Jamie Vardy, hingga Marcus Rashford, Italia harus mengandalkan Graziano Pelle, Ciro Immobile, hingga Simone Zaza. Mereka bukan nama-nama terkenal yang bisa membuat para penggemar Italia senang.
Sang pelatih, Antonio Conte, pun dicecar berbagai kritikan atas pemilihan pemainnya.
“Saya yakin saya telah memilih yang terbaik,” kata Conte membela keputusannya, seperti dikutip dari ESPN FC. “Kami tentu saja memiliki tanggung jawab yang besar untuk mewakili negara kami, yang dalam beberapa aspek sangat menggilai sepak bola.”
“Kami adalah salah satu tim nasional terbesar di dunia, dan meski kami tak berada dalam momen terbaik, justru dalam kondisi seperti itulah biasanya Anda bisa menciptakan keajaiban dan mengejutkan orang-orang.”
Kesalahan tak bisa ditimpakan pada Conte sepenuhnya, karena ia hanya bisa memilih dari pemain-pemain yang tersedia. Kenyataannya, para pesepak bola Italia memang telah kehilangan tempat di rumahnya sendiri.
Ketika Inter Milan melawan Udinese pada 25 April 2016 lalu bahkan tercipta sejarah kelam yaitu pertama kalinya terjadi pertandingan tanpa adanya satu pun pemain Italia menjadi pemain inti.
Kesebelasan-kesebelasan papan atas seperti Juventus, Inter Milan, atau Napoli lebih sering mempercayakan nasib mereka kepada para pemain asing sebagai tulang punggung. Tak ayal, nama-nama seperti Paul Pogba, Gonzalo Higuain, Mauro Icardi, atau Alvaro Morata.
Di Piala Eropa 2016, Italia memutus sejarahnya sendiri dengan mengorbankan kesakralan nomor punggung 10. Jika tak berhati-hati, sang pemenang empat kali Piala Dunia ini pun bahkan bisa menghapus rekam jejaknya sebagai negara dengan tradisi juara.