by

Ricuh Antarsuporter Bukti Buruknya Tata Kelola Sepakbola Indonesia

indolivescore.com – Laga antara Persegres Gresik United dan PS TNI yang berakhir imbang dengan skor 0-0, Minggu (22/5) petang, di Stadion Petrokimia, harus menelan banyak korban akibat kerusuhan antarsuporter.

Kerusuhan antarsuporter yang terjadi baru-baru ini menjadi cermin bahwa tata kelola sepakbola Indonesia masih belum profesional. Masuknya dua aparat negara di kompetisi juga menjadi bukti bahwa hal itu tidak sesuai dengan standar lisensi sepakbola profesional.

Sekitar 50-an suporter mengalami luka-luka akibat bentrokan yang tidak terhindarkan. Penyebabnya pun masih simpang siur.

Akmal Marhali, pengamat sepakbola sekaligus direktur Save Our Soccer (SOS), menilai kerusuhan tersebut menjadi bukti bahwa tata kelola sepakbola Indonesia sangat buruk. Keinginan pemerintah untuk memperbaikinya selama satu tahun terakhir ini belum sepenuhnya sukses.

“Kerusuhan yang terjadi merupakan efek dari kurang pahamnya masyarakat terhadap arti sesungguhnya kompetisi sepakbola sebagai hiburan sekaligus industri. Selain itu, ini juga bukti buruknya tata kelola sepakbola profesional Indonesia yang memang harus dibenahi dan sayangnya sampai saat ini belum dilakukan pembenahan secara fundamental,” ujar Akmal saat ditemui pada Senin (23/5).

Akmal juga menyayangkan kericuhan tersebut melibatkan aparat negara, yang seharusnya bisa memberikan contoh yang baik dan melindungi, tapi justru bertindak di luar dugaan.

“Yang sangat disayangkan ini dilakukan oleh tim yang menyandang status wakil ‘pemerintah’ yang seyogyanya tentara itu melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat. Bukan malah bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakat dengan kekuatan yang dimiliki,” katanya.

Seperti diketahui, PS TNI sudah tampil sejak turnamen Piala Presiden lalu. Namun pada prosesnya, mereka tiba-tiba mengaku telah mengakuisisi Persiram Raja Ampat meski dalam daftar anggota PSSI tetap menggunakan nama Persiram Raja Ampat.

Begitu juga dengan PS Polri, yang berganti nama menjadi Bhayangkara Surabaya United setelah bergabung dengan Surabaya United.

Akmal menilai bergabungnya dua aparat negara ke kompetisi juga harus dipertanyakan prosesnya.

“Saya termasuk yang tidak setuju pemerintah apalagi polisi dan tentara terlibat di sepakbola profesional sebagai pemain. Apalagi, proses masuknya juga lewat cara-cara yang tidak sesuai dengan standar lisensi sepakbola profesional. Artinya, polisi dan tentara baiknya kembali ke barak saja,” tuturnya.

“Ini bukti salah kaprahnya pengelolaan sepakbola profesional. Operator kompetisi seyogyanya ikut bertanggung jawab atas peristiwa ini karena mereka yang menceburkan polisi dan tentara ke ISC,” ujar Akmal.

“Polisi lebih baik fokus mengawal kompetisi sepakbola dari potensi match fixing, match acting, dan match setting yang selama ini menjadi ‘kanker’ sepakbola Indonesia. Tentara fokus menjaga kedaulatan NKRI sebagai alat negara. Biarlah sepakbola dimainkan oleh klub-klub yang benar-benar profesional sesuai regulasi FIFA yang berlaku,” kata dia.